Tangani PMI Non-Prosedural, Komisi IX Minta Kesinambungan Koordinasi Pusat dan Daerah
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani saat mengikuti rapat antara Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi IX DPR RI. Foto: Sofyan/nvl
Permasalahan pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural melalui ‘jalur tikus’ di Batam, Kepulauan Riau mendapat perhatian dari Komisi IX DPR RI. Anggota Komisi IX DPR RI Irmaa Suryani menilai terdapat hal kontraproduktif dalam proses keberangkatan PMI dari wilayah Kepri ke Singapura maupun Malaysia. Pasalnya, salah satu syarat agar PMI dapat berangkat bekerja ke luar negeri adalah memiliki paspor, sementara salah satu pejabat di Pemerintah Provinsi Kepri menyebutkan tidak ada satupun orang yang membuat paspor untuk bekerja ke luar negeri dan PMI itu tidak diberangkatkan dari Kepri.
Demikian diungkapkan Irma usai mengikuti rapat antara Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi IX DPR RI dengan perwakilan Kementerian Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Sekda Kepri, Kadis Kesehatan Kepri, Kadisnakertrans Kepri, Kepala Balai POM Batam, Kepala BKKBN Kepri, perwakilan Pemkot Batam, Kepala UPT BLK Kepri, Kepala UPT BP2MI Kepri, dan Kepala UPTD BLK Batam, Kepala Kantor BPJS Kesehatan Divisi Regional II, Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Kanwil Sumbar-Riau, Kepala Kantor BPJS Kesehatan Batam, Kepala Kantor BPJS Ketenagakerjaan Batam, Direktur RSUD Embung Fatimah Batam, Kepala KKP Kelas I Batam, dan Kepala BTKLLP Kelas I Batam, di Batam, Kepri, Senin (8/8/2022).
“Kalau dibilang tidak ada yang membuat paspor di (Kepri) sini, ini kontraproduktif. Di satu sisi tenaga kerja yang unprocedural di Malaysia jauh lebih banyak dari yang prosedural, mereka (berangkat) lewat mana? Oleh karena itu, BP2MI itu turunannya di daerah ada BP3MI, tetap harus berkesinambungan. Yang tidak terjadi adalah koordinasi pusat dan daerah, sehingga kejadian seperti di Kamboja (penyekapan PMI) menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Ada koordinasi yang terputus antara pusat dan daerah, sehingga banyak tenaga kerja di daerah yang tidak memahami kalau berangkat unprocedural itu berbahaya,” tegas Irma.
Politisi Partai NasDem itu mengingatkan, BP2MI harus berkoordinasi dengan kepolisian, pemerintah daerah hingga TNI untuk menjaga ‘jalur tikus’ yang kerap menjadi jalan ilegal pemberangkatan PMI. Menurutnya, jika hal itu tidak dilakukan, maka akan percuma. Ia mengaku, Komisi IX DPR RI pernah melaksanakan kunjungan kerja ke Malaysia, dan menemukan bahwa jumlah pekerja Indonesia yang non-prosedural lebih banyak daripada yang prosedural. Irma menduga Pemerintah Malaysia membiarkan ini karena PMI yang unprocedural bisa dibayar dengan honor yang lebih murah, sehingga mereka lebih untung.
“Inilah yang harus diselesaikan. Koordinasi antar kementrian dan antar institusi harus ditingkatkan lagi, jangan sampai putus. Kemarin saya juga sempat bilang, anggaran BP2MI memang harus ditambah. Saat ini hanya Rp300-an miliar dan menurut saya kecil. Jadi memang harus ditambah, kemudian anggaran untuk pendidikan skill tenaga kerja di Kementrian Pendidikan dipindahkan sebagian ke Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga pendidikan vokasi dan keahlian itu bisa lebih banyak dilakukan oleh Kemnaker,” saran Irma.
Di sisi lain, Irma menilai keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) baru sebatas pendidikan vokasi yang belum bisa menjadi jawaban dari kebutuhan pasar tenaga kerja Indonesia yang butuh skill dengan kuota yang banyak. Menurutnya, pasar tenaga kerja Indonesia di luar negeri terbuka lebar tetapi rata-rata terbentur pada kemampuan bahasa para calon PMI. Hal ini yang menjadi akar masalah dalam PMI bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Sehingga Irma mengusulkan agar sebagian anggaran penddikan di Kemendikbud Ristek sebagian dipindahkan ke Kemnaker untuk dillakukan pendidikan bahasa.
“Kalau kita tidak kalah di bahasa, lapangan kerja di luar negeri itu terbuka lebar. Government to government (G2G) kita aman, bahkan sangat aman. Hubungan bilateral kita melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat ini menurut saya paling bagus dan bertanggung jawab. Inilah saatnya untuk kita mengirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri secara bertanggungjawab dan memiliki skill, sehingga dapat bersaing di pasar tenaga kerja internasional,” tandas legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan II tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini mengakui, sebagai konsekuensi daerah kepulauan yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura, maka di Kepri banyak sekali terjadi kasus-kasus pengiriman PMI ilegal atau non-prosedural. Menurutnya hal tersebut terjadi karena dua faktor. Pertama, calon PMI masuk ke Batam dari berbagai daerah di Indonesia, dan berangkat ke luar negeri menggunakan paspor biasa atau paspor umum sebagai traveller. Tapi sebenarnya tujuan mereka sebagai PMI, tapi tidak dilengkapi dengan surat menyurat sebagaimana layaknya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.
“Yang kedua memang banyak (pengiriman PMI) menggunakan pelabuhan-pelabuhan tikus. Dan ini banyak kasus yang meninggal karena misalnya terdampar di perairan karena terkena gelombang, kalau tidak salah ada tiga kasus di (Kepri) sini. Sehingga mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Komisi IX sangat mengharapkan ada pengawasan yang ketat dan juga koordinasi antara pemerintah daerah dengan BP2MI, dan juga aparat kepolisian. Bahkan juga harus melibatkan Bea Cukai dan Imigrasi. Kalau mereka lemah dari sisi koordinasi, maka praktek semacam ini akan terus berlanjut. Ini menjadi keprihatinan kami,” tegas Yahya.
Selain itu, politisi Partai Golkar tersebut menilai keberadaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di Kepri belum berfungsi dengan optimal. “Karena instansi terkait tidak mau menempatkan orangnya di layanan satu atap. Kami pada kunker sebelumnya (ke Kepri), kami sudah melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Misalnya di lapangan tidak ada petugas imigrasi. Kemudian instansi terkait lainnya juga tidak ada. Memang ada tempatnya walaupun sangat terbatas. Tapi instansi yang bergabung di dalamnya tidak ada. Sehingga LTSA di Kepri ini tidak efektif,” nilai legislator dapil Jawa Timur VIII tersebut. (sf)